Sebagaimana ungkapan “You are What You Eat”, kulit juga bisa memberitahu jati diri seseorang; bagaimana dia tidur, makan, dan lingkungannya. Kulit memiliki reseptor-reseptor yang secara langsung berinteraksi dengan otak. Ketika kulit terpapar suatu kandungan, reseptor kulit akan mengirimkan sinyal ke otak sehingga otak akan melepaskan neurotransmiter yang memengaruhi respons kulit pada lingkungan. Inilah yang menjadi pemicu munculnya konsep neurokosmetik.
Table of Contents
TogglePertumbuhan Industri Kecantikan
Pandemi COVID-19 telah menciptakan dinamika baru dalam perilaku konsumen di bidang kecantikan. Kosmetologi bertransformasi dari produk untuk keindahan visual semata menjadi lebih holistik dalam menjaga kesehatan kulit jangka panjang. Beberapa produk juga kini mengutamakan kandungan-kandungan antioksidan sebagai respons terhadap virus dan stres oksidatif.
Nilai pasar kecantikan di Indonesia, khususnya skincare, menyentuh nilai pasar 1.2 juta USD atau setara dengan 18.7 miliar rupiah, menurut data dari Euromonitor International yang dipublikasikan pada April, 2023.
Fenomena ini menandai ketahanan dan adaptabilitas industri kecantikan di tengah tantangan global, yang mana ini bisa menciptakan peluang besar bagi Smartpreneur untuk memahami dan merespons dinamika pasar yang semakin kompleks, membawa industri kecantikan ke tingkat baru dalam era pascapandemi, misalnya dengan menghadirkan produk neurokosmetik.
Konsep dan Landasan Ilmiah Neurokosmetik
Istilah neurokosmetik pertama kali dikenalkan oleh Prof. Jean-Pierre Misery pada tahun 2000, yang mendefinisikan neurokosmetik sebagai produk kecantikan untuk memberikan efek pada kulit dengan memanfaatkan sistem saraf atau mengubah mediator kulit. Konsep neurokosmetik kemudian mulai dikenal sejak rapat tahunan New York Society of Cosmetic Chemists pada 2007.
Seperti istilahnya; ‘neuro’ dan ‘kosmetik’, menggabungkan ilmu neurologi dan kosmetologi, dengan fokus pada cara stimulasi saraf dan interaksi antara neurotransmiter dan mediator lokal kulit. Dengan kata lain, neurokosmetik merupakan sebuah komunikasi dua arah antara kulit dan otak.
Produk neurokosmetik dapat memengaruhi reseptor pada kulit yang kemudian akan mengirimkan sinyal ke sumsum tulang belakang (spinal cord) lalu ditransmisikan ke korteks serebral di otak. Melalui neurotransmiter, otak akan merespons bagaimana kulit bertindak. Misalnya jika produk mengandung mentol, otak akan memberikan sinyal pada kulit sehingga kulit merespons mentol sebagai rasa dingin.
Menurut studi, neurokosmetik bekerja dengan dua cara, yaitu:
- Langsung pada ujung serat saraf kulit, sebagai modulator untuk melepaskan neurotransmiter ke otak. Contohnya, kandungan peptida yang cara kerjanya mirip dengan botulinum, yang dapat merangsang relaksasi otot wajah untuk mengurangi kerutan, dan ada juga peptida yang menghambat neuron untuk mengurangi reaktivitas kulit yang sensitif terhadap stimulus lingkungan seperti polusi udara.
- Neurokosmetik juga dapat berperan sebagai agonis atau antagonis pada reseptor neuropeptida dengan mengatur fungsi sel non-saraf.
Neurokosmetik dalam Produk Kecantikan
Kulit menjadi representasi psikologis yang sangat memengaruhi citra seseorang. Dalam situasi stres, otot-otot di wajah, terutama di sekitar mata dan dahi, cenderung menegang, yang akan mengakibatkan munculnya garis-garis halus dan kerutan. Penggunaan otot yang berlebihan dapat menjadi penyebab utama permasalahan ini. Selain itu, tubuh juga akan memproduksi radikal bebas lebih banyak ketika stres.
Hal inilah yang memicu tren penelitian dan pemanfaatan neurokosmetik, yang mampu bekerja hingga ke saraf dan memengaruhi respons otak dan sistem saraf perifer kulit. Sehingga tidak heran, pada awal pertumbuhannya, neurokosmetik digunakan sebagai inovasi produk anti-penuaan.
Namun, seiring dengan evolusi, peran neurokosmetik dalam produk kecantikan semakin beragam, tergantung pada komposisi dan konsentrasi bahan aktif yang digunakan. Beberapa bahan yang populer digunakan termasuk botani, ekstrak tanaman laut, peptida, dan antioksidan.
Pengembangan Produk Neurokosmetik
Menurut World Health Organization (WHO) dampak pandemi COVID-19 telah meningkatkan masalah kesehatan mental seperti stres, kecemasan, dan depresi secara global. Tingginya prevalensi stres, paparan polusi, aktivitas media sosial, dan sinar UV telah menjadi penyebab utama masalah kulit, terutama penuaan.
Sebagai respons terhadap tantangan ini, konsumen saat ini cenderung mencari produk kecantikan dan perawatan kulit yang tidak hanya menawarkan manfaat kosmetik, tetapi juga memberikan perhatian khusus pada kesejahteraan mental mereka.
Pentingnya merawat kesehatan mental telah menjadi pendorong utama perubahan perilaku konsumen. Produk perawatan kulit yang menonjolkan unsur relaksasi, peremajaan, dan dukungan untuk kesejahteraan mental semakin diminati.
Namun, tantangan yang dihadapi terletak pada pengembangan produk di fasilitas manufaktur. Sumber bahan baku, formulasi, serta penelitian klinis yang komprehensif baik secara in vivo maupun in vitro menjadi aspek yang penting untuk memastikan manfaat dan efikasi produk neurokosmetik.
Indocare B2B, dengan layanan pengembangan produk yang lengkap, dapat diandalkan sebagai mitra produksi terbaik untuk produk kecantikan. Dengan tim R&D dan dokter yang berpengalaman, Indocare B2B dapat mengubah konsep bisnis Anda menjadi produk yang ideal sesuai preferensi dan strategi bisnis Anda.
Ditinjau oleh dr. Raissa Aprilia